Tuhan yang Mahakuasa adalah kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya. Domba-domba Tuhan mendengar suara Tuhan. Selama Anda membaca firman Tuhan yang Mahakuasa, Anda akan melihat Tuhan muncul! Kami menyambut semua pencari kebenaran untuk datang dan melihat.

菜單

Nubuat-nubuat Akhir Zaman Telah Digenapi: Cara Menyambut Kedatangan Tuhan yang Kedua Kali

Bencana sering terjadi dan nubuat akhir zaman telah terpenuhi. Bagaimana kita dapat menyambut kedatangan Tuhan? Silakan baca artikelnya sekarang dan temukan jawabannya.




Rabu, 12 Februari 2020

Kasih Tuhan Menyertaiku di Dalam Penjara Setan yang Gelap

 Kristen

Kisah Nyata Kristen - Kasih Tuhan Menyertaiku di Dalam Penjara Setan yang Gelap

Oleh Saudari Yang Yi, Provinsi Jiangsu
Aku adalah seorang Kristen dari Gereja Tuhan Yang Mahakuasa dan aku telah menjadi pengikut Tuhan Yang Mahakuasa selama lebih dari sepuluh tahun. Selama waktu ini, satu hal yang tidak akan pernah kulupakan adalah kesengsaraan yang mengerikan ketika aku ditangkap oleh polisi PKT (Partai Komunis Tiongkok) sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu, meskipun aku disiksa dan diinjak-injak oleh para setan jahat, dan hampir mati beberapa kali, Tuhan Yang Mahakuasa menggunakan tangan-Nya yang perkasa untuk membimbing dan melindungiku, menghidupkanku kembali, dan menyelamatkanku .... Melalui ini, aku benar-benar mengalami ketidakterbatasan dan kehebatan kekuatan hidup Tuhan, dan mendapatkan kekayaan hidup yang berharga yang diberikan kepadaku oleh Tuhan.
Suatu hari pada 23 Januari 2004 (hari kedua Tahun Baru Tiongkok). Aku harus pergi dan mengunjungi seorang saudari dari gereja, karena dia berada dalam kesulitan dan sangat membutuhkan bantuan. Karena dia tinggal jauh sekali, aku harus bangun pagi-pagi untuk mendapatkan taksi, jadi aku akan pulang pada hari itu juga. Aku meninggalkan rumah saat hari mulai terang. Nyaris tidak ada orang di jalan, hanya para pekerja yang membersihkan sampah. Dengan cemas aku mencari taksi, tetapi tidak ada yang lewat. Aku pergi ke pangkalan taksi untuk menunggu dan melangkah ke jalan untuk melambaikan tanganku menghentikan taksi ketika aku melihatnya datang—tetapi ternyata itu adalah kendaraan milik Biro Perlindungan Lingkungan. Mereka bertanya mengapa aku menghentikan mereka. "Maaf, aku keliru, kukira Anda taksi," kataku. "Kami rasa kau sedang memasang poster ilegal," jawab mereka. "Apakah kau melihatku melakukan itu? Di mana poster-poster yang aku pasang?" kataku. Tanpa memberiku kesempatan untuk membela diri, mereka bertiga bergegas maju dan secara paksa memeriksa tasku. Mereka mengobrak-abrik semua barang di dalam tasku—salinan khotbah, buku catatan, dompet, ponsel, dan pager yang sudah tidak lagi kugunakan, dan lain-lain. Kemudian mereka melihat lebih teliti pada salinan khotbah dan buku catatan itu. Melihat tidak ada poster di tasku, mereka mengangkat salinan khotbah itu dan berkata: "Kau mungkin tidak memasang poster ilegal, tetapi kau percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa." Selanjutnya, mereka menelepon Divisi Agama Brigade Keamanan Nasional. Segera setelah itu, empat orang dari Brigade Keamanan Nasional tiba. Mereka tahu aku adalah orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa begitu mereka melihat barang-barang di tasku. Tanpa mengizinkanku mengatakan apa pun, mereka memasukkanku ke dalam kendaraan mereka, lalu mengunci pintu untuk menghalangiku melarikan diri.
Ketika kami sampai di Biro Keamanan Umum (BKU), polisi membawaku ke sebuah ruangan. Salah seorang dari mereka mengutak-atik pager dan ponselku, mencari petunjuk. Dia menyalakan ponselku tetapi terlihat baterainya lemah, kemudian baterai itu benar-benar mati. Sekalipun berusaha, dia tidak bisa menyalakannya. Sambil memegang ponsel tersebut, dia tampak khawatir. Aku juga bingung—aku baru mengisi baterai ponsel pagi itu. Bagaimana mungkin daya baterainya tidak ada? Tiba-tiba aku menyadari bahwa Tuhan secara ajaib mengatur ini untuk menghentikan polisi sehingga tidak menemukan informasi apa pun tentang saudara-saudari lainnya. Aku juga memahami firman yang diucapkan oleh Tuhan: "Setiap dan segala hal, baik yang hidup maupun mati, akan berganti, berubah, diperbarui, dan lenyap sesuai dengan pemikiran Tuhan. Demikianlah cara Tuhan memerintah atas segala sesuatu" ("Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Sungguh, segala sesuatu dan semua peristiwa berada di tangan Tuhan. Entah hidup atau mati, semua hal mengalami perubahan sesuai dengan pemikiran Tuhan. Pada saat ini, aku mendapatkan pemahaman yang benar tentang cara Tuhan memegang kedaulatan dan mengatur segala sesuatu. Selain itu, aku mendapatkan keyakinan yang kubutuhkan untuk mengandalkan Tuhan dalam menghadapi interogasi selanjutnya. Menunjuk ke arah barang-barang di dalam tas, petugas polisi itu menuduh, "Ini menunjukkan bahwa kau jelas bukan jemaat gereja biasa. Kau pasti salah seorang dari kepemimpinan senior, seseorang yang penting, karena para pemimpin junior tidak memiliki pager atau ponsel. Apa aku benar?" "Aku tidak mengerti apa yang sedang kau katakan," jawabku. "Kau berpura-pura bukan pemimpin!" teriaknya, lalu memerintahkanku untuk berjongkok dan mulai berbicara. Melihatku tidak akan mau bekerja sama, mereka mengepungku dan mulai meninju dan menendangku—seakan-akan mereka ingin membunuhku. Dengan wajahku yang berdarah dan bengkak, seluruh tubuhku sakit tak tertahankan, aku rebah ke lantai. Aku sangat marah. Aku ingin bernalar dengan mereka, untuk memperdebatkan kasusku: kesalahan apa yang telah kulakukan? Mengapa kalian memukuliku seperti itu? Namun aku tidak mungkin bernalar dengan mereka, karena pemerintah PKT tidak berbicara dengan akal sehat. Aku bingung, tetapi aku tidak mau menyerah dengan pemukulan mereka. Saat aku kebingungan, tiba-tiba aku memikirkan tentang cara, karena para petugas jahat dari pemerintahan PKT ini bersikap sangat tidak masuk akal, karena mereka tidak mengizinkanku menjelaskan apa pun, aku tidak perlu mengatakan apa pun kepada mereka. Lebih baik aku diam saja—dengan begitu aku tidak akan berguna bagi mereka. Ketika aku memikirkan hal ini, aku berhenti memperhatikan apa yang mereka katakan.
Melihat bahwa pendekatan ini tidak berpengaruh padaku, para polisi jahat itu menjadi marah dan menjadi semakin biadab: mereka beralih ke penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan. Mereka memborgolku ke sebuah kursi besi yang disekrup ke lantai dengan posisi sedemikian rupa sehingga aku tidak bisa berjongkok, juga tidak bisa berdiri. Salah seorang dari mereka meletakkan tanganku yang tidak diborgol di atas kursi itu dan memukulnya dengan sepatu, hanya berhenti setelah punggung tanganku menjadi lebam dan membiru, sementara yang lainnya menginjak kakiku dengan sepatu kulitnya, menggulirkan sepatunya ke sekeliling jari-jari kakiku untuk meremukkannya, sehingga saat itu juga aku mengalami rasa sakit luar biasa yang terasa langsung ke jantungku. Setelah itu, enam atau tujuh polisi bergiliran menyiksaku. Salah seorang dari mereka berkonsentrasi pada persendianku, dan menjepitnya sangat keras sehingga sebulan kemudian aku masih tidak bisa menekuk lenganku. Yang lainnya menjambak rambutku dan menggoyang-goyangkan kepalaku dari kiri ke kanan, lalu merenggutnya ke belakang sehingga aku mendongak ke atas. "Lihat ke langit dan lihat apa ada Tuhan di sana!" katanya dengan kejam. Mereka terus menyiksaku sampai malam. Melihat bahwa mereka tidak akan mendapatkan apa pun dariku, dan karena itu adalah Tahun Baru Imlek, mereka membawaku langsung ke rumah tahanan.
Ketika aku sampai di rumah tahanan, seorang penjaga memerintahkan seorang tahanan wanita untuk menanggalkan semua pakaianku dan membuangnya ke tempat sampah. Kemudian mereka memaksaku mengenakan seragam penjara yang kotor dan berbau busuk. Para penjaga memasukkanku ke sel dan kemudian membohongi tahanan lainnya, dengan mengatakan: "Dia berkeliaran ke mana-mana untuk memecah belah keluarga orang lain. Banyak keluarga telah dihancurkan olehnya. Dia seorang pembohong, dia menipu orang jujur, dan mengganggu ketertiban umum...." "Mengapa dia terlihat seperti orang bodoh?" tanya salah seorang tahanan. Yang dijawab oleh penjaga: "Dia sedang berpura-pura untuk menghindari hukuman. Tak seorang pun dari kalian yang akan cukup pintar untuk berpikir melakukan itu. Siapa pun yang mengira dia bodoh adalah orang paling idiot dari semuanya." Dengan demikian, karena ditipu oleh para penjaga itu, semua tahanan lainnya mengatakan hukumanku kurang berat, dan bahwa satu-satunya hal yang baik bagi orang seburuk diriku adalah regu tembak! Mendengar ini membuatku sangat marah—tetapi tidak ada yang dapat kulakukan. Upayaku untuk melawan tidak berhasil, mereka hanya membawa lebih banyak siksaan dan kebiadaban. Di rumah tahanan, para penjaga membuat para tahanan membacakan peraturan setiap hari: "Akui kejahatanmu dan tunduk pada hukum. Dilarang menghasut orang lain untuk melakukan kejahatan. Membentuk geng tidak diizinkan. Perkelahian tidak diperbolehkan. Mengintimidasi atau menghina orang lain tidak diperbolehkan. Membuat tuduhan palsu terhadap orang lain tidak diperbolehkan. Mengambil makanan atau harta milik orang lain tidak diperbolehkan. Mempermainkan orang lain tidak diperbolehkan. Orang yang menindas di penjara akan ditindak. Setiap pelanggaran terhadap peraturan harus segera dilaporkan ke petugas lapas atau petugas jaga. Kau tidak boleh menyembunyikan fakta atau mencoba melindungi tahanan yang telah melanggar peraturan, dan peraturan penjara harus diterapkan secara manusiawi. ..." Pada kenyataannya, para penjaga mendorong para tahanan lain untuk menyiksaku, membiarkan mereka mempermainkan aku setiap hari: ketika suhu ada di posisi 8 atau 9 derajat di bawah nol, mereka merendam sepatuku; mereka diam-diam menuangkan air ke dalam makananku; di malam hari, ketika aku tidur, mereka membasahi jaketku yang berlapis kapas; mereka membuatku tidur di sebelah toilet, dan mereka sering mengambil selimutku di malam hari dan menarik rambutku agar aku tidak bisa tidur; mereka merampas roti kukusku; mereka memaksaku membersihkan toilet, dan memasukkan sisa obat mereka ke mulutku dengan paksa, mereka tidak membiarkan aku buang air kecil…. Jika aku tidak melakukan apa pun yang mereka katakan, mereka akan bersekongkol dan memukuliku—dan sering kali pada waktu-waktu seperti itu para petugas lapas atau petugas jaga akan bergegas keluar agar tidak terlihat atau berpura-pura tidak melihat apa pun; terkadang mereka bahkan bersembunyi agak jauh dan menonton. Jika selama beberapa hari para tahanan tidak menyiksaku, para petugas lapas dan petugas jaga akan bertanya kepada mereka, "Wanita jalang bodoh itu telah bertambah cerdas ya beberapa hari terakhir ini? Sementara itu, kalian sudah jadi bodoh. Siapa pun yang dapat membujuk pelacur bodoh itu akan dikurangi hukumannya." Penyiksaan kejam para penjaga itu membuatku sangat membenci mereka. Jika aku tidak menyaksikan ini dengan mata kepalaku sendiri dan mengalaminya secara pribadi, aku tidak akan pernah percaya bahwa pemerintah PKT, yang seharusnya penuh dengan kebajikan dan moralitas, dapat menjadi begitu kelam, menakutkan, dan mengerikan—aku tidak akan pernah melihat sifat mereka yang sesungguhnya, sifat yang penuh tipu daya dan bermuka dua. Semua slogannya tentang "melayani rakyat, menciptakan masyarakat yang beradab dan harmonis"—semua ini adalah kebohongan yang dirancang untuk menipu dan memperdaya orang, semua ini adalah sarana, tipuan untuk memperindah diri mereka dan mendapatkan pujian yang tidak layak mereka terima. Pada saat itu, aku teringat firman Tuhan: "Sehingga tidak mengherankan bagaimana inkarnasi Tuhan tetap tersembunyi bagi mereka: Di tengah masyarakat yang gelap seperti ini, di mana Iblis begitu kejam dan tidak manusiawi, bagaimana mungkin raja Iblis, yang menghabisi orang-orang dalam sekejap mata, menoleransi keberadaan Tuhan yang baik, penuh kasih, dan kudus? Bagaimana mungkin ia akan menyambut kedatangan Tuhan dengan gembira? Para penjilat! Mereka membayar kebaikan dengan kebencian, mereka sudah lama membenci Tuhan, mereka memperalat Tuhan, mereka berlaku kasar sekasar-kasarnya, mereka sama sekali tidak menghargai Tuhan, mereka merampas dan merampok, mereka sudah kehilangan hati nurani, dan tidak ada kebaikan yang tersisa, dan mereka menggoda orang tidak bersalah agar kehilangan hati nuraninya. Nenek moyang? Pemimpin yang dikasihi? Mereka semua melawan Tuhan! Tindakan ikut campur mereka membuat semua yang tinggal di kolong langit menjadi gelap dan kacau! Kebebasan beragama? Hak dan kepentingan yang sah bagi warga negara? Semua itu hanya tipuan untuk menutupi dosa!" ("Pekerjaan dan Jalan Masuk (8)" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Membandingkan firman Tuhan dengan kenyataan, aku melihat hakikat setan yang jahat dan kelam dari pemerintahan PKT dengan sangat jelas. Untuk mempertahankan kekuasaannya yang gelap, mereka terus mencengkeram erat rakyatnya, dan tidak berhenti untuk memperdaya dan menipu mereka. Di permukaan, mereka tampaknya memberikan kebebasan beragama—tetapi secara diam-diam, mereka menangkap, menindas, menganiaya, dan membunuh orang-orang di seluruh negeri yang percaya kepada Tuhan, bahkan berusaha membunuh mereka semua. Sungguh setan itu jahat, kejam, dan reaksioner! Di mana kebebasannya? Di mana hak asasi manusia? Tidakkah ini semua tipu muslihat untuk memperdaya orang? Dapatkah orang melihat sekilas ada pengharapan atau terang di balik pemerintahannya yang kelam? Bagaimana mereka bisa bebas untuk percaya kepada Tuhan dan mengejar kebenaran? Baru pada saat itulah aku menyadari bahwa Tuhan telah mengizinkan penganiayaan dan kesengsaraan ini menimpaku, bahwa Dia telah menggunakannya untuk menunjukkan kepadaku keganasan dan kekejaman pemerintah PKT, untuk menunjukkan kepadaku hakikat jahatnya yang membenci kebenaran dan memusuhi Tuhan, dan untuk menunjukkan kepadaku bahwa polisi rakyat, yang dengan gencar dipromosikan dan digembar-gemborkan pemerintah sebagai lembaga yang menghukum kejahatan, membela kebaikan, dan mempromosikan keadilan, adalah kaki tangan dan antek-antek yang telah dipelihara dengan cermat, sekelompok algojo yang berwajah manusia tetapi berhati binatang, dan yang akan membunuh seseorang tanpa mengedipkan mata. Demi memaksaku menolak dan mengkhianati Tuhan dan menyerah pada kekuasaannya yang sewenang-wenang, pemerintah PKT tidak akan pernah berhenti menyiksa dan menghancurkanku—namun mereka tidak tahu bahwa semakin mereka menyiksaku, semakin jelas aku melihat sifat setannya, dan semakin aku membenci dan menolaknya dari lubuk hatiku, membuatku benar-benar merindukan Tuhan dan percaya kepada Tuhan. Selain itu, justru karena penyiksaan para penjaga itulah tanpa kusadari aku jadi mengerti apa arti sesungguhnya mengasihi apa yang Tuhan kasihi, dan membenci apa yang Tuhan benci, apa artinya meninggalkan Iblis dan berpaling kepada Tuhan, apa artinya biadab, apa artinya kuasa kegelapan, dan, selain itu, apa artinya jahat dan berbahaya, palsu dan curang. Aku bersyukur kepada Tuhan karena mengizinkanku mengalami lingkungan ini, karena membuatku dapat membedakan mana yang benar dan yang salah dan terlebih lagi, menentukan jalan hidup yang benar untuk ditempuh. Hatiku—yang telah ditipu Iblis sedemikian lamanya—akhirnya disadarkan oleh kasih Tuhan. Aku merasa bahwa ada makna besar dalam nasibku mengalami kesengsaraan dan ujian ini, dan di mana kepadaku telah benar-benar diperlihatkan kemurahan-Nya yang khusus.
Setelah mencoba segala cara lainnya, para polisi jahat itu menemukan rencana lain: mereka menemukan seorang Yudas yang telah mengkhianati gerejaku. Orang itu mengatakan bahwa aku percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa dan dia juga berusaha membuatku menjauhkan diri dari Tuhan. Melihat hamba yang jahat ini yang telah melaporkan banyak saudara-saudari yang menyebarkan Injil, dan mendengar semua perkataan jahat yang keluar dari mulutnya—perkataan yang menghina, memfitnah, dan menghujat Tuhan—hatiku dipenuhi dengan amarah. Aku ingin menghardiknya, bertanya mengapa dia begitu memusuhi Tuhan. Mengapa dia yang telah menikmati begitu banyak kasih karunia Tuhan, malah bergabung dengan setan-setan jahat untuk menganiaya umat pilihan Tuhan? Dalam hatiku, ada kesedihan dan rasa sakit yang tak terkatakan. Aku juga merasakan penyesalan dan perasaan berutang; aku benar-benar membenci diriku sendiri karena, di masa lalu, aku tidak berusaha mengejar kebenaran, dan tidak pernah mengetahui apa pun selain menikmati kasih karunia dan berkat Tuhan seperti anak yang naif, tidak memikirkan penderitaan dan penghinaan yang telah Tuhan tanggung demi keselamatan kami. Baru sekarang, saat aku berada di dalam sarang iblis ini, aku merasakan betapa sulitnya bagi Tuhan untuk bekerja di negara yang kotor dan rusak ini, dan betapa besar penderitaan yang dipikul-Nya! Sesungguhnya, kasih Tuhan kepada manusia membuat-Nya mengalami penderitaan yang luar biasa. Dia melakukan pekerjaan menyelamatkan umat manusia sambil menanggung pengkhianatan manusia. Pengkhianatan manusia hanya menghasilkan penderitaan dan luka. Tidak heran Tuhan pernah berkata: "Bahkan hanya dalam waktu semalam, mereka bisa berubah dari sosok manusia yang penuh senyum dan 'baik hati' menjadi pembunuh berwajah buruk yang kejam, yang tiba-tiba memperlakukan orang yang memberi kebaikan kepada mereka kemarin sebagai musuh bebuyutan, tanpa sebab atau alasan" ("Pekerjaan Tuhan dan Penerapan Manusia" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Hari ini, meskipun aku telah jatuh ke dalam cengkeraman iblis, aku tidak akan mengkhianati Tuhan apa pun yang terjadi. Sebesar apa pun kesukaran yang kupikul, aku tidak akan menjadi Yudas demi menyelamatkan diriku sendiri, dan aku tidak akan menyebabkan penderitaan dan kesedihan bagi Tuhan. Sebagai akibat aku difitnah oleh Yudas tersebut, para polisi jahat itu meningkatkan penyiksaan mereka. Sementara itu, orang yang berkhianat itu berdiri di sebelahku dan berkata: "Kau tidak bisa membedakan yang baik dari yang buruk. Kau layak menerimanya! Kau tidak menghargai kebaikanku. Kau layak disiksa sampai mati!" Mendengar perkataan jahat dan kejam ini membuatku marah—tetapi aku juga merasakan kesedihan yang tak dapat dijelaskan. Aku ingin menangis, tetapi aku tahu aku tidak boleh menangis; aku tidak ingin membiarkan Iblis melihat kelemahanku. Dalam hatiku, aku diam-diam berdoa: "Ya Tuhan! Aku berharap Engkau mendapatkan hatiku. Meskipun aku tidak mampu melakukan apa pun untuk-Mu saat ini, aku ingin menjadi kesaksian kemenangan bagi-Mu di hadapan Iblis dan orang jahat ini, sepenuhnya mempermalukan mereka, sehingga melalui ini, aku membawa penghiburan bagi hati-Mu. Ya Tuhan! Kiranya Engkau melindungi hatiku, dan membuatku lebih kuat. Jika aku menangis, biarlah air mataku mengalir hanya di dalam hatiku—aku tidak boleh membiarkan mereka melihat air mataku. Aku seharusnya bahagia karena aku mengerti kebenaran, karena Engkau telah menyingkirkan selubung yang menutupi mataku, memberiku kemampuan untuk membedakan, dan dengan jelas melihat natur dan hakikat Iblis, yaitu untuk menentang dan mengkhianati-Mu. Di tengah pemurnian, aku juga telah melihat bagaimana tangan-Mu yang bijaksana mengatur segalanya. Aku ingin mengandalkan-Mu untuk menghadapi interogasi berikutnya dan mengalahkan Iblis, agar Engkau dapat dimuliakan di dalam diri-Ku." Setelah berdoa, dalam hatiku ada kekuatan untuk tidak menyerah sampai aku menyelesaikan kesaksianku bagi Tuhan. Aku tahu ini telah diberikan kepadaku oleh Tuhan, bahwa Tuhan telah memberiku perlindungan besar dan telah sangat menggerakkan diriku. Para polisi jahat itu ingin menggunakan wanita jahat ini untuk membuatku mengkhianati Tuhan, tetapi Tuhan adalah Tuhan yang bijaksana, dan Dia memakai wanita jahat ini sebagai sebuah kontras untuk menunjukkan kepadaku natur pemberontak dari manusia yang rusak, sehingga mendorong tekad dan imanku untuk memuaskan Tuhan. Selain itu, aku memiliki pengetahuan tentang pekerjaan Tuhan yang bijak, dan aku melihat bahwa Tuhan mengatur dan menggerakkan semua yang ada dengan tujuan untuk menyempurnakan umat Tuhan. Ini adalah fakta tak terbantahkan tentang bagaimana Tuhan menggunakan hikmat untuk mengalahkan Iblis.
Melihat bahwa mereka tidak akan berhasil membuatku mengatakan apa pun yang mereka inginkan, mereka tidak peduli berapa pun biaya yang harus dikeluarkan—baik itu tenaga kerja, ataupun sumber daya materi dan finansial—untuk melakukan berbagai macam cara demi mencari bukti bahwa aku adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Tiga bulan kemudian, semua upaya yang mereka lakukan sia-sia. Akhirnya, mereka memakai cara terakhir: mereka menemukan seorang ahli interogasi Dikatakan bahwa setiap orang yang dibawa kepadanya mengalami tiga macam penyiksaan, dan tidak pernah ada yang tidak mengaku. Suatu hari, empat petugas polisi datang dan berkata kepadaku, "Hari ini kami akan membawamu ke rumah baru." Selanjutnya, mereka mendorongku masuk ke dalam mobil gerbong tahanan, memborgol tanganku ke belakang, dan mengenakan kain penutup kepala di kepalaku. Situasi itu membuatku berpikir mereka sedang membawaku keluar untuk secara diam-diam mengeksekusiku. Dalam hatiku, mau tak mau aku merasa panik. Namun setelah itu, aku teringat lagu pujian yang biasa kunyanyikan ketika aku percaya kepada Yesus: "Sejak masa-masa awal bergereja, mereka yang mengikuti Tuhan harus membayar mahal. Puluhan ribu saudara seiman telah mengorbankan diri mereka demi Injil, dan dengan demikian mereka memperoleh hidup yang kekal. Jadilah martir bagi Tuhan, jadilah martir bagi Tuhan, aku siap menjadi martir bagi Tuhan." Hari itu, akhirnya aku memahami lirik dalam lagu pujian itu: mereka yang mengikuti Tuhan harus membayar mahal. Aku juga siap mati bagi Tuhan. Yang mengejutkanku, setelah masuk ke dalam mobil gerbong itu, aku secara tidak sengaja mendengar percakapan antara para polisi jahat itu. Sepertinya mereka membawaku ke tempat lain untuk diinterogasi. Ah! Mereka tidak membawaku untuk dieksekusi—dan aku sedang bersiap untuk mati sebagai martir bagi Tuhan! Tepat saat aku memikirkan ini, tanpa alasan yang jelas, salah seorang polisi itu mengencangkan tali kain penutup kepala di kepalaku. Segera setelah itu, aku mulai merasa tidak nyaman—aku merasa seperti tercekik. Aku mendapati diriku bertanya-tanya apakah mereka benar-benar akan menyiksaku sampai mati. Pada saat itu, aku teringat bagaimana para murid Yesus telah mengorbankan diri mereka untuk menyebarkan Injil. Aku tidak akan menjadi pengecut. Bahkan jika aku harus mati, aku tidak akan memohon kepada mereka untuk melonggarkannya, apalagi aku mengakui kekalahan. Namun aku tidak bisa mengendalikan diriku: aku pingsan dan ambruk menimpa tubuh mereka. Melihat apa yang terjadi, polisi itu dengan cepat melonggarkan kain penutup tersebut. Mulutku mulai mengeluarkan busa, kemudian tidak bisa berhenti muntah. Rasanya seperti aku akan memuntahkan isi perutku. Aku merasa pusing, pikiranku kosong, dan aku tidak bisa membuka mataku. Seluruh tubuhku lemas tak bertenaga, seakan-akan aku lumpuh. Rasanya seperti ada sesuatu yang lengket di mulutku yang tidak bisa kukeluarkan. Tubuhku sejak dahulu memang rapuh, dan setelah disiksa seperti ini aku merasa tubuhku bermasalah, dan bahwa aku mungkin akan berhenti bernapas kapan saja. Di tengah rasa sakit ini, aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Apakah aku hidup atau mati, aku mau menaati-Mu. Aku percaya bahwa apa pun yang Engkau lakukan, itu adalah kebenaran, dan aku mohon Engkau melindungi hatiku, sehingga aku dapat tunduk pada semua yang Engkau rancang dan atur." Beberapa waktu kemudian, mobil gerbong itu tiba di sebuah hotel. Pada saat itu, seluruh tubuhku terasa lemah dan aku tidak mampu membuka mataku. Mereka membawaku ke ruangan tertutup. Yang bisa kudengar hanyalah suara-suara kaki tangan pemerintah PKT yang berdiri untuk membahasku, mengatakan bahwa melihatku seperti melihat sikap Liu Hulan. "Sungguh mengesankan!" kata mereka. "Dia bahkan lebih tangguh daripada Liu Hulan!" Mendengar ini, hatiku melonjak dengan kegembiraan. Aku melihat bahwa dengan bersandar pada iman dan mengandalkan Tuhan pasti akan ada kemenangan atas Iblis, bahwa Iblis berada di bawah kaki Tuhan! Aku bersyukur dan memuji Tuhan. Pada saat ini, aku lupa dengan penderitaan ini. Aku merasa sangat bersyukur karena dapat memuliakan Tuhan.
Segera setelah itu, "pakar interogasi" yang dibicarakan para polisi itu tiba. Begitu dia masuk, dia berteriak: "Di mana perempuan jalang itu? Biar aku melihatnya!" Dia berjalan sampai ke depanku dan merenggutku. Setelah menampar aku berkali-kali di wajah, dia memberiku beberapa pukulan keras ke dada dan punggung, lalu melepas salah satu sepatu kulitnya dan memukul wajahku dengan itu. Setelah dipukuli olehnya seperti ini, aku kehilangan rasa bahwa ada sesuatu yang tidak bisa kukeluarkan dari mulut atau perutku. Aku tidak lagi merasa bingung dan aku bisa membuka mataku. Kemampuan merasaku berangsur-angsur kembali ke anggota tubuhku, dan kekuatan mulai kembali ke tubuhku. Selanjutnya, dia dengan kasar merenggut pundakku dan mendorongku ke dinding, memerintahkanku untuk menatapnya dan menjawab pertanyaannya. Melihatku tidak memberi perhatian membuatnya sangat marah, dan dia mencoba mendapatkan reaksi dariku dengan menghina, memfitnah, dan menghujat Tuhan. Dia menggunakan cara yang paling hina dan tercela untuk memancingku, dan berkata dengan nada mengancam, "Aku dengan sengaja menyiksamu dengan apa yang tak tertahankan bagi jiwa dan ragamu, untuk membuatmu menanggung penderitaan yang tidak mampu ditanggung manusia normal—kau akan berharap kau lebih baik mati. Pada akhirnya, kau akan memohon kepadaku untuk melepaskanmu, dan saat itulah kau akan berbicara masuk akal, dan mengatakan bahwa nasibmu bukan berada di tangan Tuhan—tetapi berada di tanganku. Jika aku ingin kau mati, itu akan langsung terjadi. Jika aku ingin kau hidup, kau akan hidup, dan kesukaran apa pun yang aku ingin kau derita, itulah yang akan kau derita. Tuhanmu Yang Mahakuasa tidak mampu menyelamatkanmu—kau hanya akan hidup jika kau memohon kami untuk menyelamatkanmu." Menghadapi para preman, hewan-hewan liar, para setan jahat yang tercela, tak tahu malu, dan hina ini, aku benar-benar ingin melawan mereka. "Segala sesuatu di surga dan di bumi diciptakan oleh Tuhan dan dikendalikan oleh-Nya," pikirku. "Nasibku juga tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Tuhan adalah Penentu hidup dan mati; apa kau pikir aku akan mati hanya karena kau menginginkannya?" Pada saat itu, hatiku dipenuhi amarah. Aku merasa tidak mampu menahannya; aku ingin berteriak, melawan, menyatakan kepada mereka: "Manusia tidak akan pernah memohon belas kasihan dari seekor anjing!" Aku percaya bahwa ini adalah diriku yang mengembangkan rasa keadilanku—tetapi yang mengejutkanku, semakin aku berpikir seperti ini, semakin gelap di dalam diriku. Aku mendapati diriku tanpa kata-kata doa, tidak dapat mengingat lagu pujian apa pun. Pikiranku semakin keruh, aku tidak tahu harus berbuat apa, dan pada saat itu aku mulai merasa sedikit takut. Aku dengan cepat menenangkan diri di hadapan Tuhan. Aku merenungkan diriku sendiri, dan mencoba mengenal diriku sendiri, dan pada saat itu firman penghakiman Tuhan datang kepadaku: "Apa yang engkau kagumi bukanlah kerendahan hati Kristus, ... Engkau tidak mengasihi keindahan ataupun hikmat Kristus..." ("Apakah Engkau Seorang Percaya Sejati?" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Ya—aku telah melihat Kristus sebagai sesuatu yang kurang berarti, dan aku telah mengagumi kuasa dan pengaruh, bukan kerendahhatian Kristus, apalagi mengagumi hikmat dari pekerjaan Tuhan yang tersembunyi. Tuhan menggunakan hikmat-Nya untuk mengalahkan Iblis, Dia menggunakan kerendahhatian dan ketersembunyian-Nya untuk menyingkapkan wajah Iblis yang sebenarnya, dan mengumpulkan bukti untuk menghukum orang jahat. Demikian juga, semua tindakan tercela yang telah dilakukan para polisi itu terhadapku dan semua hal yang menghujat dan menentang Tuhan yang mereka katakan hari ini dengan jelas menyingkapkan hakikat jahat mereka sebagai pembenci kebenaran dan penentang Tuhan, dan ini akan menjadi bukti yang diperlukan untuk menjamin kutukan, penghukuman dan pemusnahan Tuhan. Namun, aku gagal melihat hikmat dan kerendahhatian Kristus, dan, berpikir bahwa "orang yang baik hati dapat ditindas, sama seperti kuda menjadi jinak karena sering ditunggangi," aku tidak senang dihina dan ditindas. Aku bahkan percaya bahwa melawan balik adalah hal yang paling adil, bermartabat, dan berani yang bisa kulakukan. Aku tidak tahu bahwa Iblis ingin menghasutku untuk melawan mereka, memaksaku untuk mengakui fakta tentang kepercayaanku kepada Tuhan untuk menghukumku. Jika aku benar-benar melawan mereka dengan keberanian yang gegabah, bukankah aku akan menjadi korban rencana curang mereka? Aku benar-benar bersyukur kepada Tuhan atas hajaran dan penghakiman-Nya yang tepat waktu terhadapku, yang memberiku perlindungan di tengah pemberontakanku, sehingga aku melihat rencana curang Iblis, mengenali racun Iblis dalam diriku, dan memperoleh sedikit pengetahuan tentang siapa Tuhan dan esensi kehidupan Tuhan yang rendah hati dan tersembunyi. Aku merenungkan bagaimana Kristus menghadapi penganiayaan, perburuan, dan pembunuhan oleh setan PKT, dan bagaimana semua umat manusia menghakimi, mengutuk, memfitnah, dan meninggalkan Dia. Di sepanjang itu semua, Dia menanggung semua ini diam-diam, menanggung semua penderitaan ini untuk melakukan pekerjaan penyelamatan-Nya, dan tidak pernah mengeluh. Aku melihat betapa baik, indah, dan terhormatnya watak Tuhan! Sementara itu, aku—orang yang kotor dan rusak—ingin menggunakan keberanian gegabahku untuk menegakkan martabatku, untuk memperjuangkan keadilanku sendiri berdasarkan kehendakku sendiri ketika dianiaya oleh setan-setan jahat ini. Di manakah rasa keadilan dalam hal ini? Dan di manakah kekuatan karakter dan martabat? Dalam hal ini, bukankah aku sedang menunjukkan sifat jahatku yang buruk? Bukankah aku sedang menyingkapkan naturku yang congkak? Merenungkan ini, hatiku dipenuhi dengan penyesalan. Aku memutuskan untuk meneladani Kristus. Aku menjadi bersedia untuk tunduk pada lingkungan ini dan berusaha yang terbaik untuk bekerja sama dengan Tuhan, tanpa memberikan kesempatan kepada Iblis.
Hatiku menjadi tenang, dan aku diam-diam menunggu putaran selanjutnya dari pertempuranku melawan setan-setan ini. Penolakanku untuk mengaku telah mempermalukan orang yang dianggap ahli tersebut. Dia dengan marah memelintir salah satu lenganku ke punggung dan menarik yang satunya lagi ke belakang bahuku, lalu memborgol kedua tanganku dengan erat. Setelah kurang dari setengah jam, butiran besar keringat membanjiri wajah dan mataku, menghalangiku membukanya. Melihatku tetap tidak akan menjawab pertanyaannya, dia membantingku ke lantai, lalu mengangkatku dengan memegang borgol di punggungku. Aku langsung merasakan sakit di lenganku, seakan-akan lengan itu telah patah. Sangat sakit sampai aku sulit bernapas. Selanjutnya, dia menghempaskanku ke tembok dan membuatku berdiri menghadap tembok. Keringat mengaburkan pandanganku. Rasanya sangat menyakitkan sampai seluruh tubuhku dipenuhi keringat—bahkan sepatuku basah kuyup. Tubuhku sejak dahulu memang rapuh, dan pada saat ini aku pingsan. Yang bisa kulakukan hanyalah bernapas terengah-engah melalui mulutku. Setan itu berdiri di sebelahku, memperhatikanku. Aku tidak tahu apa yang dilihatnya—mungkin dia takut disalahkan jika aku mati—dia dengan cepat mengambil segenggam tisu untuk menyeka keringatku, lalu memberiku segelas air. Dia melakukan ini setiap setengah jam atau lebih. Aku tidak tahu seperti apa penampilanku saat itu. Kurasa pasti sangat menakutkan, karena aku hanya bisa terengah-engah dengan mulut terbuka; sepertinya aku telah kehilangan kemampuan bernapas melalui hidungku. Bibirku kering dan pecah-pecah dan membutuhkan segenap kekuatan yang kumiliki untuk bernapas. Aku merasakan kematian sekali lagi mendekat—mungkin kali ini aku benar-benar akan mati. Namun pada saat itu, Roh Kudus menerangiku. Aku teringat Lukas, salah satu murid Yesus, dan pengalamannya digantung sampai mati. Dalam hatiku, dengan serta-merta aku mendapatkan kekuatanku kembali, dan terus mengatakan hal yang sama berulang-ulang untuk mengingatkan diriku sendiri: "Lukas mati dengan digantung. Aku juga harus menjadi Lukas, aku harus menjadi Lukas, menjadi Lukas .... Aku dengan rela menaati pengaturan dan rencana Tuhan, dan aku berharap untuk setia kepada Tuhan sampai mati seperti Lukas." Ketika rasa sakit itu menjadi tak tertahankan dan aku berada di ambang kematian, tiba-tiba aku mendengar salah seorang polisi jahat itu mengatakan bahwa beberapa saudari-saudari yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa telah ditangkap. Dalam hati, aku terkejut: Beberapa saudara-saudari lainnya harus disiksa. Mereka pasti bertindak sangat keras terhadap saudara-saudari itu. Hatiku dipenuhi dengan kekhawatiran. Aku terus berdoa dalam hati untuk mereka, memohon Tuhan menjaga mereka dan membuat mereka menjadi kesaksian kemenangan di hadapan Iblis dan tidak pernah mengkhianati Tuhan, karena aku tidak ingin ada saudara atau saudari lainnya yang menderita seperti aku. Mungkin aku dijamah oleh Roh Kudus; aku berdoa tanpa henti, dan semakin aku berdoa, semakin aku terinspirasi. Tanpa sadar aku melupakan rasa sakitku. Aku tahu betul bahwa ini adalah pengaturan Tuhan yang bijaksana; Tuhan memperhatikan kelemahanku dan memimpinku melewati waktuku yang paling menyakitkan. Malam itu, aku tidak lagi peduli cara para polisi jahat itu memperlakukanku, dan tidak sedikit pun memperhatikan pertanyaan mereka. Melihat apa yang terjadi, para polisi jahat itu menggunakan tinju mereka untuk memukuli wajahku dengan kejam, kemudian melilitkan rambut di pelipisku di jari-jari mereka dan merenggutnya. Telingaku bengkak karena dipelintir, wajahku tidak bisa dikenali, pantat dan pahaku telah memar dan robek ketika mereka memukuliku dengan sepotong kayu tebal, dan jari-jari kakiku juga menjadi lebam setelah dipukul dengan sepotong kayu. Setelah menggantungku dengan borgol selama enam jam, ketika polisi jahat itu membuka borgol tersebut, daging di bawah ibu jari kiriku telah terkelupas—hanya tertinggal lapisan tipis yang tersisa menutupi tulang. Borgol itu juga membuat pergelangan tanganku penuh lepuh kekuningan, dan tidak mungkin dipakaikan borgol lagi. Pada saat itu, seorang perwira polisi wanita yang terlihat berkuasa berjalan masuk. Dia menatapku dari atas ke bawah, lalu berkata kepada mereka, "Aku tidak bisa lagi mengalahkan yang ini—dia sepertinya akan mati."
Polisi mengunciku di salah satu kamar hotel. Tirai-tirainya ditutup rapat dua puluh empat jam sehari. Seseorang ditugaskan untuk menjaga pintu, dan tidak ada petugas dinas yang diizinkan masuk, juga tidak ada yang diizinkan melihat adegan mereka menyiksa dan menganiayaku di dalam. Mereka bergiliran menginterogasiku tanpa jeda. Selama lima hari lima malam, mereka tidak mengizinkanku tidur, mereka tidak mengizinkanku duduk atau berjongkok, juga tidak mengizinkanku memakan makananku. Aku hanya diizinkan berdiri bersandar di dinding. Suatu hari, seorang pejabat datang untuk menginterogasiku. Melihat bahwa aku mengabaikannya, dia marah dan membuatku jatuh ke bawah meja dengan tendangannya. Selanjutnya, dia menarikku ke atas dan meninjuku, menyebabkan darah mengalir dari ujung mulutku. Untuk menutupi kebiadabannya, dia dengan cepat menutup pintu untuk menghentikan siapa pun masuk. Lalu dia menarik beberapa tisu dan menyeka darahku, membersihkan darah dari wajahku dengan air dan membersihkan darah dari lantai. Aku sengaja meninggalkan sebagian darah di sweter putihku. Namun, ketika aku kembali ke rumah tahanan, para polisi jahat itu memberi tahu tahanan lain bahwa darah pada pakaianku berasal dari saat aku disahkan di rumah sakit jiwa dan mengatakan di situlah aku berada selama beberapa hari terakhir. Luka dan darah di tubuhku disebabkan oleh para pasien—sedangkan mereka, para polisi itu, belum menyentuhku…. Fakta-fakta kejam ini menunjukkan kepadaku kekejaman, kelicikan yang jahat, dan ketidakmanusiawian polisi rakyat, dan aku merasakan ketidakberdayaan dan keputusasaan dari orang-orang yang jatuh ke tangan mereka. Pada saat yang sama, penghargaanku semakin mendalam akan kebenaran, kekudusan, kecemerlangan, dan kebaikan Tuhan, dan merasa bahwa segala sesuatu yang berasal dari Tuhan adalah kasih, perlindungan, pencerahan, penyediaan, penghiburan, dan dukungan. Setiap kali penderitaanku mencapai yang terberat, Tuhan akan selalu mencerahkan dan membimbingku, meningkatkan iman dan kekuatanku, memampukanku untuk meneladani semangat orang-orang kudus yang telah mati martir bagi Tuhan selama berabad-abad, sehingga memberiku keberanian memegang teguh kebenaran. Ketika kebiadaban para polisi jahat itu membuatku berada di ambang kematian, Tuhan mengijinkanku mendengar berita penangkapan saudara-saudari lainnya, menggunakan ini untuk lebih menggerakkanku untuk berdoa bagi mereka, sehingga aku melupakan penderitaanku sendiri dan tanpa disadari mengalahkan kekangan kematian. Berkat si Iblis, yang bertindak sebagai kontras yang jahat dan kejam, aku melihat bahwa hanya Tuhanlah jalan, kebenaran, dan hidup, dan hanya watak Tuhanlah yang merupakan lambang kebenaran dan kebaikan. Hanya Tuhan yang memerintah dan mengatur segalanya, dan Dia menggunakan kuasa dan hikmat-Nya yang besar untuk memimpin setiap langkahku dalam mengalahkan pengepungan pasukan setan, dalam mengalahkan kelemahan daging dan kekangan kematian, dengan demikian memampukanku untuk bertahan hidup dengan gigih di sarang kegelapan ini. Ketika aku merenungkan tentang kasih dan keselamatan Tuhan, aku merasa sangat terinspirasi, dan aku memutuskan untuk melawan Iblis sampai akhir. Bahkan jika aku harus membusuk di penjara, aku akan berdiri teguh dalam kesaksianku dan memuaskan Tuhan.
Suatu hari, banyak polisi jahat yang belum pernah kujumpai sebelumnya datang untuk melihatku dan membahas kasusku. Tanpa sengaja, aku mendengar orang yang dianggap ahli berkata, "Dari semua interogasi yang pernah kulakukan, aku tidak pernah sedemikian keras kepada siapa pun seperti kepada perempuan jalang itu. Aku membuatnya tergantung dengan borgol selama delapan jam (sebenarnya enam jam, tetapi dia ingin pamer, takut atasannya akan mengatakan dia tidak berguna) dan dia tetap tidak mengaku." Aku mendengar suara wanita berkata, "Bagaimana kau bisa memukuli wanita itu dengan sangat buruk? Kau kejam." Ternyata di antara semua orang yang telah ditangkap, akulah yang paling menderita. Mengapa aku sangat menderita? Apakah aku lebih bejat daripada orang lain? Apakah yang kuderita adalah hukuman Tuhan kepadaku? Mungkinkah ada terlalu banyak kerusakan dalam diriku, dan aku sudah mencapai titik hukuman? Memikirkan hal ini, aku tak bisa menahan air mataku. Aku tahu bahwa aku tidak boleh menangis. Aku tidak boleh membiarkan Iblis melihat air mataku—jika dia melihatnya, dia akan percaya aku telah dikalahkan. Namun aku tidak bisa menahan perasaan sedih di hatiku, dan air mata mengalir di luar kendaliku. Di tengah keputusasaanku, aku hanya bisa berseru kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Saat ini, aku merasa sangat sedih. Aku terus ingin menangis. Kumohon lindungilah aku, hentikan aku dari menundukkan kepalaku di hadapan Iblis—aku tidak boleh membiarkannya melihat air mataku. Aku tahu bahwa keadaanku sekarang adalah salah. Aku menuntut dari-Mu dan mengeluh. Dan aku tahu bahwa apa pun yang Engkau lakukan, itu adalah yang terbaik—tetapi tingkat pertumbuhanku terlalu kecil, watak pemberontakanku terlalu besar, dan aku tidak mampu dengan senang hati menerima fakta ini, aku juga tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk keluar dari kondisi yang salah ini. Aku mohon agar Engkau membimbingku, dan memampukanku untuk menaati pengaturan dan rencana-Mu, dan tidak pernah lagi salah paham atau menyalahkan-Mu." Saat aku berdoa, satu bagian dari firman Tuhan melintas di pikiranku: "Engkau juga harus minum dari cawan yang telah Aku minum (inilah yang Ia katakan setelah kebangkitan), engkau juga harus berjalan di jalan yang telah Aku tempuh, engkau harus memberikan nyawamu untuk-Ku" ("Cara Petrus Mengenal Yesus" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Air mataku langsung berhenti. Penderitaan Kristus tidak dapat dibandingkan dengan penderitaan makhluk ciptaan mana pun, juga tidak dapat ditanggung oleh makhluk ciptaan mana pun—sedangkan di sini aku merasa diperlakukan tidak adil dan mengeluh kepada Tuhan karena merasa diperlakukan tidak adil setelah menderita sedikit kesukaran. Di mana hati nurani dan akal sehatku dalam hal ini? Bagaimana aku bisa disebut manusia? Setelah itu, aku merenungkan apa yang Tuhan katakan: "Walaupun demikian, kerusakan di dalam natur manusia harus diselesaikan melalui ujian. Dalam aspek mana saja engkau tidak lulus, dalam aspek itulah engkau harus dimurnikan—ini adalah pengaturan Tuhan. Tuhan menciptakan sebuah lingkungan untukmu, yang memaksamu dimurnikan di sana untuk mengetahui kerusakanmu sendiri" ("Bagaimana Memuaskan Tuhan di Tengah Ujian" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus"). Merenungkan firman Tuhan dan merenungkan diriku sendiri, aku mengerti bahwa apa yang diatur oleh Tuhan ditujukan pada kerusakan dan kekuranganku—dan inilah yang justru dibutuhkan oleh hidupku. Hanya melalui penderitaan dan penyiksaan yang tidak berperikemanusiaan inilah aku dapat menyadari bahwa aku terlalu memenuhi hawa nafsuku, bahwa aku egois, hina, menuntut Tuhan dan tidak puas menderita bagi Tuhan dan menjadi kesaksian yang bersinar bagi-Nya. Jika aku tidak mengalami penderitaan ini, aku akan terus berada di bawah kesan yang keliru bahwa aku telah memuaskan Tuhan; aku tidak akan pernah menyadari bahwa aku masih memiliki begitu banyak kerusakan dan pemberontakan di dalam diriku, apalagi mendapatkan pengalaman langsung tentang betapa sulitnya bagi Tuhan untuk melakukan pekerjaan-Nya di antara umat manusia yang rusak demi menyelamatkan mereka. Aku juga tidak akan pernah benar-benar meninggalkan Iblis dan kembali ke hadapan Tuhan. Kesukaran ini adalah kasih Tuhan bagiku, itu adalah berkat istimewa bagiku. Setelah memahami kehendak Tuhan, hatiku tiba-tiba terasa jernih dan cerah. Kesalahpahamanku tentang Tuhan lenyap. Aku merasa ada nilai dan makna yang besar dalam kemampuanku untuk menderita kesukaran hari itu!
Setelah mencoba segala yang mereka bisa, para polisi jahat itu tidak mendapat apa pun dariku. Pada akhirnya, mereka berkata dengan keyakinan: "PKT terbuat dari baja, tetapi orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa terbuat dari berlian—mereka lebih baik daripada PKT dalam segala hal." Setelah mendengar perkataan ini, dalam hatiku aku tak tahan untuk bersorak dan memuji Tuhan: "Ya Tuhan, aku bersyukur dan memuji-Mu! Dengan kemahakuasaan dan hikmat-Mu, Engkau telah mengalahkan Iblis dan mengalahkan musuh-musuh-Mu. Engkaulah otoritas tertinggi dan kemuliaan hanya bagi-Mu!" Baru pada saat inilah aku melihat bahwa sekejam apa pun PKT, mereka dikendalikan dan diatur oleh tangan Tuhan. Sebagaimana firman Tuhan katakan: "Semua benda di angkasa dan di atas tanah harus berada di bawah kekuasaan-Nya. Semua ciptaan itu tak bisa punya pilihan lain, dan harus tunduk pada pengaturan-Nya. Hal ini ditetapkan oleh Tuhan, dan merupakan otoritas Tuhan" ("Keberhasilan atau Kegagalan Tergantung pada Jalan yang Dijalani Manusia" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia").
Suatu hari, para polisi jahat itu datang untuk menginterogasiku sekali lagi. Kali ini mereka semua tampak agak aneh. Mereka menatapku saat mereka berbicara, tetapi sepertinya mereka tidak berbicara kepadaku. Mereka tampaknya sedang mendiskusikan sesuatu. Seperti sebelumnya, interogasi ini berakhir dengan kegagalan. Kemudian, para polisi jahat itu membawaku kembali ke selku. Dalam perjalanan, tiba-tiba aku mendengar mereka mengatakan bahwa sepertinya aku akan dibebaskan pada tanggal satu bulan depan. Mendengar ini, hatiku hampir meledak dengan kegembiraan: "Ini berarti aku akan bebas tiga hari lagi!" pikirku. "Akhirnya aku bisa meninggalkan neraka iblis ini!" Menyembunyikan kegembiraan di hatiku, aku berharap dan menunggu setiap detik berlalu. Tiga hari terasa seperti tiga tahun. Akhirnya, tanggal satu bulan itu tiba! Hari itu, aku terus menatap ke pintu, menunggu seseorang memanggil namaku. Pagi itu berlalu, dan tidak ada yang terjadi. Aku menaruh semua harapanku untuk bebas di sore harinya—tetapi sampai malam tiba, tetap saja tidak ada yang terjadi. Ketika tiba waktunya untuk makan malam, aku tidak merasa ingin makan. Dalam hatiku, aku merasa kehilangan sesuatu; pada saat itu, rasanya hatiku telah jatuh dari surga ke neraka. "Mengapa dia tidak makan?" tanya petugas lapas itu kepada para tahanan lainnya. "Dia tidak makan banyak sejak dia kembali dari diinterogasi hari itu," jawab salah seorang tahanan. "Pegang dahinya; apakah dia sakit?" kata petugas lapas itu. Seorang tahanan datang dan meraba dahiku. Dia mengatakan dahiku sangat panas, bahwa aku demam. Memang benar. Penyakit itu datang sangat tiba-tiba, dan sangat parah. Pada saat itu, aku pingsan. Selama dua jam, demam itu semakin memburuk. Aku menangis! Mereka semua, termasuk petugas lapas, memperhatikanku menangis. Mereka semua tercengang kebingungan: selama ini mereka memandangku sebagai orang yang tidak dapat dipikat oleh apa pun, juga tidak pernah menyerah meski dihajar, yang tidak meneteskan air mata setiap kali diperhadapkan dengan penyiksaan yang memilukan, dan yang telah digantung dengan borgol selama enam jam tanpa mengeluh. Namun hari ini, tanpa mengalami penyiksaan apa pun, aku menangis. Mereka tidak tahu dari mana datangnya air mataku—mereka hanya berpikir aku pasti sakit parah. Faktanya, hanya Tuhan dan aku yang tahu alasannya. Itu semua karena pemberontakan dan ketidaktaatanku. Air mata ini mengalir karena aku merasa putus asa ketika harapanku sia-sia dan pengharapanku telah pupus. Itu adalah air mata pemberontakan dan keluhan. Pada saat itu, aku tidak lagi ingin bertekad untuk menjadi kesaksian bagi Tuhan. Aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk diuji seperti ini lagi. Malam itu, aku meneteskan air mata kesedihan, karena aku tidak tahan lagi hidup di penjara dan aku membenci setan-setan ini—dan bahkan lebih dari itu, aku tidak suka berada di tempat yang mengerikan ini. Aku tidak ingin menghabiskan waktu sedetik pun lagi di sana. Semakin aku memikirkannya, semakin aku menjadi putus asa, dan semakin aku merasakan banyak keluhan, kesedihan, dan kesepian. Aku merasa seperti kapal yang kesepian di laut, kapal yang bisa ditelan air kapan saja; selain itu, aku merasa orang-orang di sekitarku begitu berbahaya dan mengerikan sehingga mereka bisa melampiaskan kemarahan mereka kepadaku kapan saja. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berseru: "Ya Tuhan! Aku mohon Engkau menyelamatkanku. Aku berada pada titik kehancuranku, aku bisa mengkhianati-Mu kapan saja dan di mana saja. Aku mohon agar Engkau menjaga hatiku dan memampukanku untuk kembali di hadapan-Mu sekali lagi, dan aku mohon agar Engkau mengasihaniku sekali lagi, dan memampukanku untuk menerima pengaturan dan rencana-Mu. Meskipun aku tidak dapat mengerti apa yang sedang Engkau lakukan sekarang, aku tahu bahwa semua yang Engkau lakukan adalah baik, dan aku meminta-Mu untuk menyelamatkanku sekali lagi, dan membuat hatiku berpaling kepada-Mu." Setelah berdoa, aku berhenti merasa takut. Aku mulai tenang dan merenungkan diriku, dan pada saat itu firman penghakiman dan pewahyuan Tuhan datang kepadaku: "Apakah engkau menginginkan daging, ataukah mendambakan kebenaran? Apakah engkau menghendaki penghakiman, ataukah kenyamanan? Setelah mengalami begitu banyak pekerjaan Tuhan, dan melihat kekudusan dan kebenaran-Nya, bagaimanakah seharusnya engkau mengejar? Bagaimana engkau harus menjalani jalan ini? Bagaimana seharusnya engkau melakukan kasihmu kepada Tuhan dalam tindakan nyata? Apakah hajaran dan penghakiman Tuhan berdampak apa pun dalam dirimu? Terlepas dari apakah engkau memiliki pengetahuan tentang hajaran dan penghakiman Tuhan itu tergantung pada apa yang engkau jalani, dan sampai sejauh mana engkau mengasihi Tuhan! Bibirmu mengatakan engkau mengasihi Tuhan, namun yang engkau hidupi adalah watak lamamu yang rusak; engkau tidak takut akan Tuhan, apalagi memiliki hati nurani. Apakah orang-orang seperti itu mengasihi Tuhan? Apakah orang-orang seperti itu setia pada Tuhan?... Mungkinkah seseorang seperti ini menjadi Petrus? Apakah mereka yang seperti Petrus hanya memiliki pengetahuan, tetapi tidak hidup di dalamnya?" ("Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Setiap kata penghakiman Tuhan seperti pedang bermata dua yang menyerang kelemahanku yang mematikan, menumpukkan hukuman kepadaku: ya, sering kali aku bersumpah di hadapan Tuhan, mengatakan bahwa aku akan meninggalkan segalanya dan menanggung setiap kesukaran demi kebenaran. Namun hari ini, ketika Tuhan menggunakan kenyataan untuk meminta sesuatu dariku, ketika Dia membutuhkanku untuk benar-benar menderita dan membayar harga untuk memuaskan Dia, aku tidak memilih kebenaran atau kehidupan, tetapi secara membabi buta ditunggangi dengan kecemasan, kesusahan dan kekhawatiran karena kepentingan dan masa depan daging. Aku bahkan tidak memiliki iman sedikit pun kepada Tuhan. Bagaimana aku bisa memenuhi kehendak Tuhan dengan melakukan ini? Tuhan ingin apa yang kuhidupi berbuah. Dia tidak menginginkan sumpah kosong yang indah. Namun di hadapan Tuhan aku memiliki pengetahuan tetapi tidak memiliki kenyataan, dan terhadap Tuhan, aku tidak memiliki kesetiaan ataupun kasih sejati, apalagi ketaatan; aku hidup hanya dengan kecurangan, pemberontakan, dan penentangan. Dalam hal ini, bukankah aku adalah orang yang mengkhianati Tuhan? Bukankah ada adalah orang yang menghancurkan hati Tuhan? Pada saat itu, aku teringat ketika Tuhan Yesus ditangkap dan dipakukan di kayu salib. Satu demi satu, mereka yang telah sering menikmati kasih karunia-Nya meninggalkan Dia. Dalam hatiku, aku dipenuhi dengan penyesalan. Aku membenci pemberontakanku, aku membenci kurangnya kemanusiaanku, aku ingin sekali lagi berdiri, menggunakan tindakan nyata untuk membuat janjiku kepada Tuhan menjadi kenyataan. Bahkan jika aku harus membusuk di penjara, aku tidak akan pernah lagi menyakiti hati Tuhan. Aku tidak akan pernah bisa lagi mengkhianati harga darah yang telah dibayarkan Tuhan bagiku. Aku berhenti menangis, dan dalam hati, aku diam-diam berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, terima kasih karena telah mencerahkan dan membimbingku, dan karena mengizinkanku untuk memahami kehendak-Mu. Aku melihat bahwa tingkat pertumbuhanku sangat kecil, dan aku tidak memiliki sedikit pun kasih atau ketaatan terhadap-Mu. Ya Tuhan, saat ini aku ingin menyerahkan hidupku sepenuhnya kepada-Mu. Bahkan jika aku harus menghabiskan seluruh hidupku di penjara, aku tidak akan pernah menyerah kepada Iblis. Aku hanya ingin menggunakan tindakan nyataku untuk memuaskan-Mu."
Setelah beberapa saat, ada lebih banyak desas-desus yang mengabarkan bahwa aku akan dibebaskan. Dikabarkan bahwa waktunya hanya tinggal beberapa hari saja. Karena pengalaman yang telah kupelajari sebelumnya, kali ini aku agak lebih rasional dan tenang. Meskipun aku merasa sangat bersemangat, aku ingin berdoa dan mencari Tuhan, tidak pernah lagi membuat pilihan untuk diriku sendiri. Aku hanya akan memohon kepada Tuhan agar melindungiku sehingga aku dapat menaati semua pengaturan dan rencana-Nya. Beberapa hari kemudian, desas-desus itu sekali lagi tidak terjadi. Selain itu, aku mendengar petugas lapas mengatakan bahwa bahkan kalau aku sampai meninggal di penjara, mereka tidak akan membebaskanku, alasannya adalah karena aku tidak mau memberi tahu mereka alamat rumah dan namaku—jadi aku akan dipenjara untuk selamanya. Mendengar ini sangat berat bagiku, tetapi aku tahu bahwa ini adalah penderitaan yang harus kutanggung. Tuhan ingin aku menjadi kesaksian bagi-Nya, dan aku bersedia untuk menaati Tuhan, dan tunduk pada kehendak Tuhan, serta aku percaya bahwa segala perkara dan segala sesuatu berada di tangan Tuhan. Ini adalah Tuhan yang sedang menunjukkan kepadaku kasih karunia-Nya yang khusus dan mengangkatku. Sebelumnya, meskipun aku berkata aku akan membusuk di penjara, itu hanyalah harapan dan keinginanku sendiri—aku tidak memiliki kenyataan ini. Sekarang, aku bersedia untuk memberikan kesaksian ini melalui kehidupan yang kujalani dalam kenyataan dan membuat Tuhan menemukan penghiburan dalam diriku. Pada saat aku menjadi penuh kebencian terhadap Iblis dan bertekad untuk bertempur melawan Iblis sampai akhir, untuk benar-benar menjadi kesaksian yang tulus dengan membusuk di penjara, aku melihat kemahakuasaan dan keajaiban perbuatan Tuhan. Pada 6 Desember 2005, mobil gerbong penjara membawaku dari rumah tahanan dan meninggalkanku di pinggir jalan. Dengan demikian, kehidupanku selama dua tahun di penjara berakhir.
Setelah mengalami kesengsaraan yang mengerikan ini, meskipun dagingku telah mengalami banyak kesukaran, aku telah memperoleh seratus—bahkan seribu—kali lebih banyak: aku tidak hanya mengembangkan wawasan dan ketajaman, dan benar-benar melihat bahwa pemerintah PKT adalah perwujudan Iblis si setan, segerombolan pembunuh yang akan membunuh orang tanpa mengedipkan mata, tetapi aku juga telah memahami kemahakuasaan dan hikmat Tuhan, serta kebenaran dan kekudusan-Nya; aku jadi semakin menghargai maksud baik Tuhan dalam menyelamatkanku, dan pemeliharaan serta perlindungan-Nya terhadapku, dengan demikian memampukanku, selama mengalami kebiadaban Iblis, untuk mengalahkan Iblis selangkah demi selangkah, dan berdiri teguh dalam kesaksianku. Mulai hari ini dan seterusnya, aku ingin menyerahkan seluruh keberadaanku sepenuhnya kepada Tuhan, dan aku akan dengan setia mengikuti Tuhan, agar aku bisa didapatkan oleh-Nya secepat mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar