Oleh Shiji
Novel roman adalah sahabatku saat aku tumbuh dewasa. Setiap kali membaca cerita tentang tokoh protagonis pria dan wanita yang bersumpah untuk menjaga cinta mereka dan melewati kesulitan yang tak terhitung banyaknya sebelum akhirnya mencapai keinginan mereka, aku selalu terharu sampai menangis. Sejak itu, berbagai gagasan seperti "sampai maut memisahkan kita" dan "cinta adalah yang terpenting" menjadi berakar kuat dalam hatiku, dan aku mulai merindukan jenis cinta tulus yang kutemukan dalam novel-novel ini, menantikan saatnya memiliki pernikahan yang sukacita dan bahagia, dan ingin dapat menemukan pasangan seumur hidup di kemudian hari.
Aku Mencurahkan Sepenuh Hatiku Hanya untuk Memiliki Pernikahan yang Bahagia
Seiring bertambahnya usia, kerinduanku untuk menemukan pasangan seumur hidup makin bertambah. Belakangan, kemunculan suamiku membuat aku bisa melihat jejak cinta yang kulihat dalam novel-novel itu, dan aku makin yakin bahwa lelaki ini adalah kesatria di atas kuda putih yang sudah lama kutunggu-tunggu. Karena itu aku tidak mengindahkan keberatan orang tuaku tetapi mencintai dan menikahinya tanpa ragu. Kami berdua bekerja sebagai guru yang dikelola warga negara (guru yang bekerja di sekolah negeri yang tidak menerima gaji yang normal dari pemerintah) di sekolah yang sama dan kami memulai dan menyelesaikan pekerjaan bersama-sama setiap hari. Di waktu luang, kami kerap bercanda dan bermain dam Tiongkok, dan kadang-kadang suamiku bermain erhu sementara aku bernyanyi. Kami benar-benar bergantung satu sama lain dan aku mengikutinya dalam segala hal, dan meskipun menjalani kehidupan yang sederhana, kami selalu bahagia. Dua tahun kemudian, putra kami lahir, yang membawa sukacita tak terbatas bagi keluarga kami. Ketika aku memperhatikan suamiku yang penuh perhatian dan putraku yang menggemaskan, aku merasa seperti menjadi wanita yang paling bahagia di dunia.
Tahun 1977 tiba dalam sekejap mata, dan sistem ujian masuk perguruan tinggi yang telah ditinggalkan 10 tahun sebelumnya diperkenalkan kembali. Suamiku menjalani ujian dan masuk ke perguruan tinggi pelatihan guru dan aku menitikkan air mata sukacita, aku sangat bangga akan dirinya. Tetapi di tengah semua kebahagiaanku, aku mulai khawatir: "Keuangan sedang sulit sekarang, dan bahkan rumah bobrok kami bukan milik kami sendiri. Tunjangan bulananku hanya 5 yuan, dan aku cuma mendapatkan sekitar 50 hingga 60 yuan per tahun yang tidak cukup untuk membeli jatah gandum, apalagi memasukkan suamiku ke perguruan tinggi. Tetapi suamiku telah berjuang sangat keras untuk mendapatkan kesempatan belajar ini dan aku tidak ingin memintanya menyerah. Demi masa depan suamiku, aku akan memasukkannya ke perguruan tinggi tidak peduli betapa sulitnya itu." Karena itulah aku berkeliling meminjam sebanyak mungkin uang semampuku, dan akhirnya aku mengumpulkan cukup banyak untuk membayar biaya semester pertama suamiku di kampus. Untuk melunasi utang-utangku dan membayar biaya semester kedua suamiku, aku meminjam lebih banyak uang dan mulai memelihara babi, dan aku juga mulai bercocok tanam di sebidang tanah. Tetapi kami sangat miskin, dan aku tidak punya makanan untuk babi-babi itu. Satu-satunya pilihanku adalah bangun pagi-pagi setiap hari dan pergi mencari rumput di gunung atau berjalan lebih dari 50 kilometer ke rumah ibuku untuk mengambil sekarung sisa gandum untuk memberi makan babi. Tanah yang kutanami juga jauh dan terletak di lereng. Ketika hama mulai memangsa jawawutku, aku tidak bisa mendapatkan air untuk menyemprotkan pestisida, jadi yang bisa kulakukan adalah berdiri setiap hari di bawah terik matahari di tengah hari, memunguti serangga dari tangkai demi tangkai jawawut, sehingga aku akan dapat menuai panen yang lebih besar dan sekaligus menyisihkan uang untuk biaya sekolah suamiku. Setelah panen musim gugur, ketika aku memberikan uang untuk biaya kuliah suamiku, dia tampak tersentuh dan berkata: "Engkau telah bekerja sangat keras demi mendapatkan uang ini untukku, aku benar-benar berutang kepadamu …." Aku berkata kepadanya: "Jangan terlalu memikirkannya. Belajarlah dengan giat. Aku bersedia menjalani kesulitan apa pun demi engkau!" Mendengar ucapanku ini, suamiku menangis terisak-isak dan berjanji akan memperlakukan aku dengan sangat baik suatu saat nanti dan tidak akan pernah mengecewakan aku …. Kami sangat dekat pada saat itu. Sekalipun kelelahan setiap hari, aku tetap merasa sangat bahagia.
Dua tahun kemudian, suamiku lulus, dan dia diberi pekerjaan mengajar di perguruan tinggi pelatihan guru tersebut. Aku juga sudah melunasi semua utang kami saat itu dan pindah ke kota tempat suamiku bekerja. Kesehatan suamiku memburuk dan dia harus dirawat di rumah sakit sekali atau dua kali setiap tahun serta minum obat sepanjang tahun. Untuk merawatnya, aku memasakkan berbagai makanan kesukaannya setiap hari. Khawatir kalau dia lupa minum obat, aku menulis catatan dan menempelkannya di sandaran tempat tidur untuk mengingatkannya, dan aku bahkan membawakan air untuk mencuci kakinya. Dan demikianlah kehidupan kami yang sederhana namun penuh kehangatan terus berlanjut, dan aku rela memberikan semua yang kumiliki demi suamiku …
Suamiku Tersesat dan Hatiku Tersayat Rasa Pedih
Pada tahun 1985, dengan terjadinya gelombang reformasi dan terbukanya kesempatan ke dunia luar melanda daratan Tiongkok, suamiku berhenti dari pekerjaannya di perguruan tinggi, masuk ke buku-buku penerbitan bisnis dan membuka toko buku. Setelah beberapa tahun, bahtera suamiku akhirnya telah tiba, dan dia menjadi terkenal di mana-mana. Aku merasa sangat senang melihat ini ….
Ketika aku merasa sangat gembira dan bersiap menyambut kehidupan yang lebih baik dan lebih bahagia, suamiku tiba-tiba mengatakan padaku bahwa dia ingin bercerai. Mendengar kata-kata ini terucap dari mulutnya, aku merasa seperti tersambar petir. Saat itu, yang bisa kurasakan hanyalah darah di tubuhku yang mengalir deras ke kepalaku—sensasi yang tak bisa diungkapkan. Aku tidak bisa berhenti berpikir: "Ke mana perginya suamiku, yang selalu sopan santun dan pengertian? Bagaimana mungkin perasaannya terhadapku berubah dalam rentang waktu yang sesingkat itu? Aku sudah memberi begitu banyak untuknya dan bagi keluarga ini. Bagaimana mungkin dia tega mengkhianati pernikahan kami dan begitu kejam mengkhianati keluarga kami?" Aku tidak sanggup menerima apa yang terjadi, dan tidak bisa menghentikan derai air mataku. Pada saat hatiku diliputi rasa sakit, aku teringat setiap hal kecil yang pernah kulakukan untuk suamiku: awalnya, aku tidak mengindahkan pertentangan keluargaku dan aku menikahinya tanpa ragu. Aku rela bekerja keras demi mendapatkan uang untuk memasukkannya ke perguruan tinggi; ketika dia sakit, aku memberikan perawatan yang cermat untuk makanan dan kebutuhan sehari-hari, bahkan membawakan air untuk mencuci kakinya …. Selama bertahun-tahun, aku telah memberinya semua yang kumiliki dan tidak menahan apa pun untuk diriku sendiri, tetapi sekarang dia ingin menceraikan aku. Makin aku memikirkannya, makin aku merasa kesal, dan aku merasakan kepedihan yang tak mampu kukendalikan. Aku merasa seperti tercekik, tetapi aku tidak bisa memahaminya—mengapa suamiku ingin menyakitiku begitu kejamnya?
Kemudian, akhirnya aku mengetahui bahwa suamiku memiliki wanita lain. Aku sangat marah sehingga memakinya karena bersikap begitu tak tahu malu dan tanpa hati nurani, tetapi dia berkata kepadaku dengan angkuhnya: "Beginilah keadaan di masyarakat modern. 'Tanpa seorang wanita di sisinya, seorang pria tidak punya semangat hidup,' dan 'Mengejar wanita cantik adalah cara yang layak untuk hidup.' Di zaman ini di mana kemiskinan diolok-olok tetapi tidak demikian dengan pelacuran, tidak seorang pun yang berbicara tentang hati nurani lagi. Apakah nilai hati nurani?" Saat itu, aku merasa hatiku seperti tercabik-cabik dari dadaku, terlempar ke tanah dan terinjak-injak. Rasa sakit dan perasaan teraniaya seketika itu juga berubah menjadi kebencian. Aku benci karena suamiku tidak memiliki hati nurani, membencinya karena tidak setia, dan aku bahkan lebih membenci wanita itu. Jika dia tidak merayu suamiku, semua ini tidak akan terjadi. Segala kepedihan yang kurasakan adalah karena wanita itu. Makin aku memikirkannya, makin aku membencinya, dan aku berharap bisa mengambil pisau dan membunuh wanita yang telah menghancurkan keluarga bahagiaku. Namun tentu saja aku tidak bisa melakukan ini, jadi aku hanya bisa menangis tersedu-sedu. Dihadapkan dengan suamiku yang mendesakku untuk bercerai berulang kali, aku benar-benar kehilangan keberanian untuk terus hidup dan, dalam keadaan marah, aku minum pil tidur, berharap dapat membangkitkan kembali hati nurani suamiku dengan kematianku sendiri. Akan tetapi, tanpa kuduga, sejak nyawaku diselamatkan sampai aku meninggalkan rumah sakit, suamiku tidak sekali pun datang menemuiku. Dihadapkan dengan sikap apatis suamiku terhadapku, aku menjadi sangat sedih dan menangis setiap hari. Aku selalu mengira bahwa suamiku menghargai semua yang kulakukan untuknya dan mencamkan semuanya dalam hati, serta tidak akan pernah mengkhianatiku. Aku berpikir kami akan selalu menikah dan akan menua bersama. Tidak pernah kubayangkan bahwa, setelah beberapa tahun kebahagiaan, dia akan tersesat ke pelukan wanita lain dan menjadi begitu tak berperasaan dan tidak tahu berterima kasih, dan sama sekali tidak memiliki hati nurani. Aku sangat berduka waktu itu dan semangatku hampir hancur. Aku sangat putus asa … Enam bulan kemudian, masih didesak untuk bercerai oleh suamiku, aku tidak punya pilihan selain menandatangani surat cerai.
Setelah kami bercerai, aku memulai kehidupan panjang sebagai orang tua tunggal dengan putraku yang berusia empat tahun. Karena baru saja bercerai dan tidak ada yang menghidupiku, kepala sekolah tempat aku bekerja mulai menggertakku. Ketika aku mendaftar untuk pindah ke sekolah lain, direktur Biro Pendidikan mengambil keuntungan dari situasi tersebut untuk melecehkan aku. Serangkaian peristiwa ini membuat aku merasa lebih sedih dan sengsara. Pengkhianatan suamiku, ketidakpedulian dunia, kesulitan hidup dan penindasan yang kurasakan dalam rohku membuatku merasa seperti sudah pasrah. Aku tertekan setiap hari dan bayangan yang ditinggalkan oleh pernikahanku yang gagal adalah sebuah aib di hatiku yang akan kupikul untuk waktu yang lama.
Keselamatan Tuhan Datang Kepadaku dan Aku Menemukan Kehangatan dan Dukungan
Tepat ketika aku merasa benar-benar putus asa tentang kehidupan, orang tua dari salah seorang muridku memberitakan Injil Tuhan pada akhir zaman kepadaku. Aku membaca firman Tuhan: "Umat manusia, setelah meninggalkan pembekalan kehidupan dari Yang Mahakuasa, tidak mengetahui tujuan keberadaan hidup mereka, tetapi tetap saja takut akan kematian. Mereka tanpa bantuan maupun dukungan, tetapi tetap enggan menutup mata mereka, dan mereka menguatkan diri untuk menjalani keberadaan hidup mereka yang hina di dunia ini, sekarung daging tanpa jiwa di dalamnya …. Ketika engkau letih dan ketika engkau mulai merasakan adanya kehampaan suram di dunia ini, jangan kebingungan, jangan menangis. Tuhan Yang Mahakuasa, Sang Penjaga, akan menyambut kedatanganmu kapan pun" ("Keluhan Yang Mahakuasa").
Tangisku meledak saat aku merasakan Tuhan menenangkanku bagaikan seorang ibu. Tuhan tahu betapa aku menderita, betapa sakitnya aku dan betapa kesepiannya perasaanku saat itu, dan Dia memakai firman penghiburan-Nya untuk mencairkan hatiku yang masih beku dan mati. Bagaimanapun aku tidak sendirian atau kesepian, sebab Sang Pencipta selalu mengawasiku, senantiasa bersamaku dan menungguku datang ke hadapan-Nya. Aku seperti domba tersesat yang terluka dan akhirnya menemukan jalan pulang. Aku telah menemukan dukungan dan mendapatkan keberanian untuk terus hidup. Meskipun pernikahanku berantakan dan keluargaku hancur, aku tidak sendirian, sebab Tuhan adalah penopangku, dan dengan Tuhan di sampingku, hatiku merasa damai dan tenang.
Pengkhianatan Suamiku Berasal Dari Tren Jahat Masyarakat
Selama hari-hari berikutnya, aku sering menghadiri pertemuan ibadah dengan saudara-saudariku, dan kami membaca firman Tuhan, menyanyikan lagu-lagu pujian dan menari memuji Tuhan. Perlahan-lahan, suasana hatiku yang tertekan menjadi sangat ringan. Tetapi setiap kali memikirkan bagaimana suamiku telah mengkhianatiku, aku masih merasakan denyut kepedihan samar-samar dalam hatiku. Baru kemudian, ketika aku membaca firman Tuhan, aku mengerti mengapa suamiku tersesat, dan aku juga mengerti akar penyebab rasa sakitku.
Suatu hari, aku membaca kata-kata ini dalam Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI: "Ketika timbul sebuah tren yang baru, mungkin hanya sejumlah kecil orang yang akan menjadi pelopor dari tren itu. Mereka mulai melakukan hal tertentu, menerima ide atau pandangan tertentu. Namun, di tengah ketidaksadaran mereka, sebagian besar orang masih terus terjangkit, terserap, dan tertarik oleh tren semacam ini, hingga mereka semua dengan rela menerimanya, dan semuanya tenggelam di dalamnya serta dikendalikan olehnya. Bagi manusia yang tidak memiliki tubuh dan pikiran yang sehat, yang tidak pernah mengetahui apa itu kebenaran, yang tidak dapat membedakan antara hal yang positif dan negatif, tren-tren semacam ini satu demi satu membuat mereka semua bersedia menerima tren-tren ini, pandangan hidup dan nilai-nilai yang berasal dari Iblis ini. Mereka menerima apa yang Iblis katakan kepada mereka tentang bagaimana menjalani kehidupan dan cara hidup yang Iblis "anugerahkan" kepada mereka. Mereka tidak memiliki kekuatan, mereka juga tidak memiliki kemampuan, apalagi kesadaran untuk menolak." "Iblis memusnahkan apa dari manusia? (Pikiran mereka, seluruh keberadaan mereka.) Iblis memusnahkan pikiranmu, membuatmu tidak berdaya untuk menentang, yang berarti bahwa dengan sangat perlahan hatimu berpaling kepada Iblis dan bukan kepada dirimu sendiri. Ia menanamkan hal-hal ini di dalam dirimu setiap hari dengan menggunakan gagasan dan budaya untuk memengaruhi dan mengasuhmu, secara sangat perlahan merusak kehendakmu, membuatmu tidak ingin lagi menjadi orang baik, membuatmu tidak ingin lagi membela apa yang engkau sebut kebenaran. Tanpa disadari, engkau tidak lagi memiliki tekad untuk berenang ke hulu melawan arus, tetapi malah mengalir ke bawah bersama arus itu. "Penghancuran" berarti Iblis menganiaya manusia dengan luar biasa sehingga mereka menjadi bukan seperti manusia maupun hantu, kemudian ia merebut kesempatan untuk melahap mereka."
Setelah membaca firman Tuhan, aku mengerti bahwa suamiku telah tersesat karena dia telah ditipu dan dirusak oleh tren jahat yang dipicu oleh Iblis. Aku ingat betapa bersyukurnya suamiku ketika dia melihat berapa banyak yang telah kulakukan untuknya, dan betapa rajin dan tekunnya dia bekerja setelah lulus untuk menebusnya bagiku, dan bagaimana dia berjuang dan bekerja keras agar kami dapat menjalani kehidupan yang lebih baik di masa depan. Tetapi sejak dia terjun ke dalam dunia bisnis dan mulai menjadi ternama, satu-satunya orang yang pernah bergaul dengannya adalah para manajer perusahaan dan selebriti. Dia sering pergi ke tempat-tempat hiburan seperti bar karaoke, klub malam dan sauna dan, di bawah pengaruh orang-orang dan hal-hal ini, tanpa sadar dia mulai menerima berbagai gagasan jahat seperti "Bendera merah di rumah tidak turun, bendera berwarna di luar berkibar tertiup angin," "Tanpa seorang wanita di sisinya, seorang pria tidak punya semangat hidup," "Jangan meminta keabadian, berbahagialah dengan masa sekarang," dan "Mengejar wanita cantik adalah cara yang layak untuk hidup." Dia percaya bahwa sudah sewajarnya dan normal bagi seorang pria untuk memiliki wanita lain di sisinya, mempertahankan wanita itu dan memiliki anak-anak bersamanya, bahwa ini adalah ungkapan kejantanan dan kecakapan, sehingga ia pun mengikuti tren jahat ini dan mulai berselingkuh tanpa keraguan. Menjadi terkikis dan dihancurkan oleh gagasan jahat ini, pemikiran suamiku menjadi bengkok, dan ia berubah dari yang tadinya memiliki hati nurani menjadi sepenuhnya mengabaikan tanggung jawab dan moralitas, dan ia menjadi pria yang tidak berperasaan, tidak tahu berterima kasih, dan tidak setia. Dia hanya peduli tentang bagaimana memuaskan nafsu jasmaninya sendiri dan sama sekali tidak memikirkan perasaanku atau bagaimana tindakannya itu akan membahayakan putra kami. Dia juga melakukan tindakan ini sedemikian rupa sehingga, demi bersama wanita lain, dia menekan aku berulang kali supaya menandatangani surat cerai dan dia benar-benar kehilangan seluruh hati nurani dan nalarnya. Dia menjadi makin kotor, jahat dan merosot, dan bukankah semua ini buah dari dirusak dan dilukai oleh Iblis? Kemudian aku memikirkan tentang masyarakat modern. Di bawah dampak ganas dan serbuan tren jahat, banyak suami dan istri yang sebelumnya sangat mencintai telah berpisah karena salah satu dari mereka berselingkuh, dan ini telah menyebabkan pecahnya banyak keluarga bahagia. Ada juga banyak orang yang membalas dendam pada wanita yang telah terlibat perselingkuhan dengan pasangan mereka, dan kasus pencemaran nama baik serta pembunuhan adalah hal biasa. Terlebih lagi, ada banyak anak yang tadinya riang dan bahagia, tetapi sekarang menderita depresi karena orang tua mereka bercerai, dan beberapa anak putus sekolah dan memilih menjalani kehidupan yang bejat. Ini hanyalah beberapa efek dari tren sosial yang jahat. Saat itu, aku melihat bahwa cara-cara yang digunakan Iblis untuk merusak dan menyakiti orang-orang itu mustahil untuk diwaspadai. Iblis menggunakan opini dan ide yang keliru ini untuk menanamkan pandangan jahatnya secara halus di dalam hati kita. Tanpa kebenaran, kita sebagai manusia tidak dapat membedakan yang baik dari yang jahat, keindahan dari keburukan, dan hal-hal positif dari hal-hal negatif. Kita benar-benar tidak dapat menahan serangan yang dibuat oleh tren jahat ini dan, sedikit demi sedikit, kehilangan kemanusiaan, nalar, martabat dan integritas kita, dan akhirnya kita akan disakiti dan dilahap oleh Iblis—Iblis benar-benar begitu jahat dan kejam! Setelah memahami hal-hal ini, aku tahu bahwa suamiku juga menjadi korban racun dari tren jahat ini. Aku juga sudah mendengar bahwa dia dan wanita lain itu berpisah hanya beberapa saat setelah perceraian kami. Karena mereka berselingkuh pada mulanya hanya demi memuaskan kebutuhan mereka sendiri, perceraian suamiku yang kedua berakhir dengan menyedihkan. Fakta ini memampukanku melihat jauh lebih jelas bahwa Iblis adalah sumber dari segala kejahatan, dan bahwa ia adalah akar dari semua penderitaan kita.
Belakangan, pada sebuah pertemuan ibadah, aku membaca firman Tuhan ini: "Ada enam cara utama yang Iblis gunakan untuk merusak manusia …. Yang ketiga adalah indoktrinasi yang kuat. Indoktrinasi yang kuat tentang apa? Apakah indoktrinasi yang kuat dilakukan oleh pilihan manusia sendiri? Apakah itu dilakukan dengan persetujuan manusia? (Tidak.) Tidak masalah jika engkau tidak menyetujui hal itu. Tanpa kausadari, indoktrinasi itu tercurah ke dalam dirimu, dan menanamkan dalam benakmu pikiran, aturan hidup, dan hakikat Iblis …. Yang kelima adalah tipu muslihat dan melumpuhkan. 'Tipu muslihat dan melumpuhkan' berarti Iblis menyusun beberapa pernyataan dan gagasan yang terdengar manis serta selaras dengan pandangan manusia untuk membuat seolah-olah ia sedang mempertimbangkan kedagingan manusia atau memikirkan tentang kehidupan dan masa depan mereka, padahal sesungguhnya itu hanyalah untuk membodohimu. Kemudian ia melumpuhkanmu sehingga engkau tidak tahu apa yang benar dan apa yang salah, sehingga engkau tanpa sadar tertipu dan dengan demikian berada di bawah pengendaliannya" ("Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI").
Ketika aku merenungkan firman Tuhan, segalanya tiba-tiba menjadi jelas. Ternyata aku juga telah ditipu oleh gagasan-gagasan Iblis yang keliru. Iblis telah menggunakan novel roman dan segala macam sinetron romantis untuk mencekoki aku dengan pandangan tentang cinta seperti "cinta adalah yang terpenting" dan "sampai maut memisahkan kita" yang membuat aku sedemikian gigih mengejar pernikahan bahagia yang sempurna, sehingga aku bisa menjadi seperti tokoh protagonis wanita dalam novel-novel itu dan membagikan hidupku dengan kesatria di atas kuda putih yang kubayangkan dalam hatiku, dan menua bersamanya. Ketika bertemu dengan suamiku, aku yakin bahwa dia adalah kesatria di atas kuda putih yang sangat kuidam-idamkan, dan bermimpi bahwa aku akan menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Demi mencapai tujuan itu, aku menggunakan segenap kekuatanku demi mendapatkan uang untuk memasukkannya ke perguruan tinggi dan, setelah dia mengkhianatiku, aku masih berpegang teguh pada gagasan bahwa "cinta adalah yang terpenting," tanpa mau menghadapi kenyataan dan bahkan ingin membangkitkan kembali hati nuraninya melalui kematianku sendiri. Akan tetapi, ketidakpedulian dan kekejaman suamiku segera mengubah hatiku menjadi es dan aku benar-benar putus asa. Aku mengalami depresi setiap hari, semangatku hampir hancur, dan aku hidup seperti mayat berjalan. Dalam analisis terakhir, kepedihanku tetap berasal dari kerusakan oleh Iblis; dialah yang mengarang segala macam kisah cinta yang indah untuk menipuku, dan Iblis membuatku mengejar semua itu sampai akhirnya aku menderita begitu banyak kemalangan dan kepedihan. Baru sekarang aku melihat betapa aku telah sangat tertipu oleh pandangan Iblis yang keliru! Setelah pemahaman ini, aku memutuskan untuk tidak lagi terluka oleh pengkhianatan suamiku, tetapi dengan tenang menghadapi pernikahanku yang sudah berakhir sekarang, melepaskan kebencian yang kusimpan dalam hatiku, serta hidup bahagia dan bebas.
Aku Mengenang Kasih Tuhan Dengan Rasa Syukur dan Ingin Mengikuti-Nya Sampai Akhir
Belakangan, ketika melakukan saat teduhku, aku membaca firman Tuhan ini: "Setiap saat Iblis merusak manusia atau menimbulkan bahaya yang tak terkendali, Tuhan tidak berdiam diri saja, demikian pula Dia tidak mengesampingkan atau menutup mata terhadap orang-orang yang telah dipilih-Nya. Semua yang Iblis lakukan sangat jelas dan dipahami oleh Tuhan. Tidak peduli apa pun yang Iblis lakukan, tidak peduli ia menyebabkan munculnya tren apa, Tuhan tahu semua yang Iblis sedang coba untuk lakukan, dan Tuhan tidak menyerahkan mereka yang telah dipilih-Nya. Sebaliknya, tanpa menarik perhatian, secara tenang dan diam-diam, Tuhan melakukan segala sesuatu yang diperlukan …. Dia melakukan banyak hal bagi manusia dan dengan pengorbanan yang besar; manusia tidak merasakan pengorbanan atau pun hal-hal yang Tuhan lakukan ini sedikit pun. Namun, segala yang Dia lakukan dalam kenyataannya diperbuat-Nya bagi setiap orang" ("Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). "Jadi, apa tepatnya yang Tuhan berikan kepada manusia? Apakah Dia hanya memberimu sedikit perhatian, kepedulian, dan pertimbangan ketika engkau tidak memperhatikan? Apa yang telah Tuhan berikan kepada manusia? Tuhan telah memberikan kehidupan kepada manusia, memberi manusia segalanya, dan memberikan karunia kepada manusia tanpa syarat tanpa menuntut apa pun, tanpa niat tersembunyi. Dia menggunakan kebenaran, menggunakan firman-Nya, menggunakan hidup-Nya untuk memimpin dan membimbing manusia, membawa manusia menjauh dari bahaya Iblis, jauh dari godaan Iblis, jauh dari rayuan Iblis, dan membuat manusia dapat melihat dengan jelas sifat jahat Iblis dan wajahnya yang menyeramkan. Apakah kasih dan perhatian Tuhan kepada umat manusia itu benar? Apakah itu sesuatu yang dapat engkau semua alami? (Ya.)" (Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik IV").
Firman Tuhan sekali lagi membuatku menangis. Aku mengerti bahwa setiap kali Iblis membangkitkan tren jahat, Tuhan memahami dengan tepat maksud jahatnya untuk merusak dan menyakiti manusia, Dia tahu betapa kejam cara-cara yang Iblis gunakan untuk menyakiti manusia, dan Dia tahu segala kelemahan kita. Agar kita dapat menjauhkan diri dari bahaya yang disebabkan oleh Iblis dan membedakan semua bujuk rayu dan pencobaan Iblis, Tuhan diam-diam melakukan banyak pekerjaan melalui kita. Dia memilih kita untuk datang ke hadapan-Nya, memakai firman-Nya untuk menerangi dan membimbing kita, memampukan kita untuk memahami kebenaran dan melihat kejahatan dan keburukan Iblis serta motif-motif kejinya. Tuhan memakai firman-Nya untuk memampukan kita perlahan-lahan menjauh dari kerusakan dan bujuk rayu Iblis, sehingga kita tidak lagi disakiti olehnya. Merenungkan kembali hidupku, jika bukan karena keselamatan Tuhan yang tepat pada waktunya, aku khawatir kalau aku akan menjadi makin terperosok dalam kepedihan, tak lama lagi aku akan didiagnosis menderita depresi klinis karena begitu murung setiap hari, dan tentu akan berakhir dengan disakiti dan dilahap oleh Iblis. Syukur atas keselamatan Tuhan yang tepat pada waktunya, dan aku bersyukur kepada Tuhan karena menghibur aku melalui firman-Nya dan memampukan aku untuk menemukan penopang dan merasakan kehangatan di tengah-tengah kesendirian dan keputusasaanku. Terlebih lagi, firman Tuhanlah yang telah menuntun dan membimbingku sehingga akhirnya memahami sumber dari semua kepedihanku dan meninggalkan rasa sakit itu.
Setelah mengalami kemalangan dalam pernikahanku, aku benar-benar menyadari bahwa cinta romantis itu tidak tulus, dan cinta "sampai maut memisahkan kita" bahkan lebih merupakan mimpi yang tidak nyata. Dengan bergantung pada gagasan dan pandangan Iblis dalam pencarian kita akan cinta yang sempurna, akhirnya kita dikuasai dan ditipu oleh Iblis, dan hidup kita menjadi makin menyakitkan. Hanya dengan datang ke hadapan Tuhan, membaca firman-Nya dan mengejar kebenaran dengan sungguh-sungguh, memahami semua tipu daya Iblis, membebaskan diri kita dari gagasan-gagasan Iblis yang keliru, dan bertindak sesuai dengan firman Tuhan dalam segala hal, kita dapat mencapai kedamaian, kebahagiaan dan kebebasan sejati. Bahwa hari ini aku bisa memperoleh pembekalan kebenaran, ini lebih berharga dan lebih bernilai daripada hal duniawi yang mungkin kudapatkan. Saat ini, aku merasakan penghargaan yang mendalam atas kasih sejati Tuhan. Syukur kepada Tuhan! Mulai sekarang, aku ingin mengikuti Tuhan dengan sungguh-sungguh dan melaksanakan tugasku dengan baik untuk membalas Tuhan atas keselamatan-Nya bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar